Rabu, 12 Mei 2010

Mybadmoodyday’s

Belajar dari kejadian tadi pagi, aku seharusnya lebih sadar setiap ingin menampilkan sesuatu dibutuhkan persiapan yang matang. Kalo ingin hasil yang maksimal, otomatis persiapannya juga harus optimal.
Hari ini jadwal presentasi jam 7 pagi, aku selesai menyiapkan bahan presentasiku jam 6.50. Memang sudah terbiasa jika aku mengerjakan tugas selalu mepet-mepet nylesainnya. Seringnya aku bisa handle tugas-tugasku. Tapi hal itu tidak berlaku untuk hari ini. Semua berjalan secepat detik yang berdetak…tidak melambat seperti yang aku harapkan. Actually, aku belum baca materi apalagi memahami apa yang aku ketik…dan jatah untuk presentasi pun tidak terhindarkan.
DAG..DIG..DUG….. DAAAG…DIG..DUUUGGG…. jantungku tidak stabil, otakku pun sepertinya sedang berjalan-jalan entah kemana, tapi intinyaa…apa yang aku ucapkan, berbeda dengan tampilan yang ada dilayar LCD…. Huuhh :(
Ternyata temen-temen menyadari gelagatku, mereka bilang…’presentasiku dibawah kenormalan’. Hahha, tapi gak papa deh… aku maklumin, gak ada persiapan. Malam sebelumnya juga ogah-ogahan ngerjainnya.. mood beberapa hari terakhir memang lagi gak baguss.

Selasa, 04 Mei 2010

26 maret 2010...


Aku menyandang usia 21 tahun, yang berarti usia pembatas antara remaja menjadi dewasa. Usia yang tidak seharusnya aku bersikap seperti anak-anak lagi, yang inginnya harus dipenuhi dan kebutuhannya harus disediakan. Usia 21 tahun adalah usia yang sewajarnya aku harus mandiri. Lebih bertenggang rasa, peduli dan bertanggung jawab atas diriku hingga jadi seperti apa aku nantinya. Saat malam pergantian usia itu tiba, lekas aku berdoa tepat saat pukul 00.00, banyak doa yang aku panjatkan. Aku bersyukur karena aku telah hidup di dunia ini dengan memiliki orang-orang yang aku sayangi dan menyayangiku. Ayah, ibu, kakak adik dan sahabat yang menjadi inspirasiku dalam menjalani kehidupan. Selalu mengingatkanku saat aku berbuat salah dan memberiku masukan saat aku bimbang untuk memilih. Selalu mengajarkanku untuk hidup sewajarnya dengan kekurangan dan kelebihan yang aku miliki.

Selasa, 29 Desember 2009

Bahagia pernah menjadi bagian hidupmu,


Aku tau tak banyak orang yang beruntung duduk bersebelahan denganmu, karna aku pernah merasakan saat hanya bisa mengagumimu dari kejauhan. Saat itu aku hanya mampu melihatmu dari duniaku sendiri, berkhayal tentangmu. Aku rasa kebanyakan mereka berada dalam keadaan yang sama sepertiku waktu itu. Jauh beda dengan sekarang, mungkin setidaknya mereka ingin mendapatkan posisi yang sama denganku. Karna seringnya kita bersama dan kamu memintaku untuk duduk bersebelahan denganmu. Mendengarkan cerita- ceritamu, menemanimu melatih bakat-bakatmu, bahkan menyentuh jemarimu yang menggandengku saat kita berjalan berdesakan di keramaian. Aku selalu ingat semua tentang itu dan aku cukup bahagia walaupun hanya sebagai sahabatmu.

Senin, 28 Desember 2009

Jangan Ucapkan Selamat Tinggal


Jangan Ucapkan Selamat Tinggal
Siang itu kulihat Dinda masih terbaring di Rumah sakit, dengan infus dan selang oksigen di lubang hidungnya. Wajahnya pucat pasi karena pendarahan di bagian kepala akibat kecelakaan dua hari lalu.
“Din, kami datang.. Aku, Ringga dan Esty. Cepat sembuh dong, kami semua kangen sama kamu” ucap Marlin sambil menahan tetes air mata. Tidak tega melihat sahabatnya hanya mampu terbaring dan memandanginya serta kedua sahabatnya yang sedih.
Arga sangat terpukul melihat keadaan kekasihnya. Saat mendengar kabar Dinda kecelakaan, Arga sangat syok.. Beberapa hari ini Arga banyak melamun dikelas dan saat rapat cenderung menjadi pendiam.
“Dinda, aku sayang kamu..aku nggak mau kehilangan kamu...please, aku butuh kamu Din!” bisik lirih Arga ditelinga Dinda yang masih memejamkan mata.
Tidak kusangka seseorang yang selama ini menjadi pujaan hatiku, yang setiap hari memberiku senyuman, kehangatan dan memberiku semangat saat aku rapuh, kini terbaring lemah tak berdaya,” pikir Arga dalam hati.
***
Disekolah Dinda, dikenal sebagai teman yang ramah, pintar dan mudah bergaul. Selama sepuluh hari berada di Rumah Sakit, banyak teman yang menjenguknya. Keadaan Dinda makin membaik, dia tidak mengenakan selang oksigen dan sudah banyak mengobrol. Hanya saja, Dokter menyarankan agar dia tidak terfosir untuk memikirkan hal yang dapat memberatkan pikirannya.
“Arga kamu nggak capek nungguin aku terus?” kata Dinda.
“Nggak, sama sekali nggak sayang..” jawab Arga menatap mata Dinda dalam.
Suasana di ruang Dinda dirawat jadi rame dengan kehadiran Ringga dan Esty, meskipun Marlin gak ikut karna sedang sibuk mengurusi buletin sekolah yang deadlinenya minggu ini. Tapi obrolan demi obrolan mengalir menjadi suasana yang hangat.
“Ngga, Ty..gimana persiapan heiking bulan depan,, aku kangen latihan climbing dan rapat sama kalian”
“Santai Din, semua kehandle kok”..jawab Esty dengan gaya tomboy-nya.
“Kamu ini bisa bisanya mikir heiking, orang sembuh aja belum..duduk masih pakai sandaran tempat tidur..” tambah Ringga.
“Yaa, tapi bole dong aku berharap bisa naik gunung lagi bareng kalian dan temen-temen bulan depan?” tegas Dinda.
“Tentu boleh honey, tapi sembuh dulu..heiking kapan-kapan bisa diadain lagi, kalo emang bulan depan kamu belum bisa ikut” jawab Arga teduh.
Suasana segar seperti ini sangat membantu menghilangkan kepenatan Dinda yang beberapa minggu ini hanya berdiam ditempat tidur dan sesekali keliling rumah sakit menggunakan kursi roda ditemani Arga maupun mamanya. Jika keadaan seperti ini berlangsung menerus, bisa jadi Dinda akan diijinkan pulang oleh Dokter dalam waktu minggu ini dan menjalani terapi pemulihan dirumah.
***
Tidak seperti biasa, kali ini Marlin saja yang menjenguk Dinda di Rumah Sakit. Ringga dan Esty banyak menghabiskan waktu mengurusi persiapan heiking, karena mereka panitia utama.
“Dinda, cepat sembuh ya sayang”, ucap Arga seakan tak tahan lama-lama melihat keadaan Dinda yang labil-kadang baikan dan tiba-tiba memburuk.
“Ga, entah kenapa aku semakin merasa nggak pantes buat kamu..Sepertinya aku akan lebih seneng kalau kamu nggak sama aku, aku sakit..dan belum bisa dipastikan bisa sembuh dalam waktu dekat, lalu apa yang bisa kamu harapin dari aku?..gak ada khan..” kata kata itu keluar dari mulut Dinda dan seakan menusuk di hati Arga.
“Din aku nggak akan ninggalin kamu, bagaimanapun keadaan kamu. Entah kemarin, sekarang, besok dan seterusnya...aku tetap sayang kamu, cuma sayang kamu!”
“Ini akan menyiksaku ga, aku tau ini kekuranganku..selalu merasa pesimis jika aku sedang dihadapkan situasi yang berat. Dan kali ini sangat berat bagiku.. Tolong ngertiin ya Gaa..”
“Udah sayang, bukan saat ini kita membicarakan hal seperti ini..” Arga mencoba memahami Dinda yang sedang emosi, bicara asal-asalan.
Airmata keduanya tak terbendung lagi, mengalir deras tapi penuh makna-mereka tak ingin saling menyakiti.
“Adalah Arga seseorang yang setia menemani Dinda dirumah sakit. Aku tahu pasti, hanya Dinda yang menempati urutan pertama di hati Arga, yahh..dia sangat sayang Dinda. Meskipun perasaanku tidak kalah sayangnya ke Arga” batin Marlin memandangi keduanya.
“Marlin, kamu kok cuma dipintu nak, gak masuk...di dalam ada Dinda kan?” ucap mama Dinda, yang kontan membuatnya kaget. Sedari tiba di depan ruang kamar Dinda, dia hanya menyimak sepasang kekasih ini mengungkap perasaan terdalam mereka.
“Ehmm, iya tante. Dinda sedang ngobrol sama Arga, Marlin jadi nggak enak. Marlin mau pam..” belum selesai Marlin bicara untuk pamit, terpotong oleh sapaan Dinda yang mendengar suara mama dan Marlin di depan pintu.
“Mama..Marlin, sedang ngobrol apa.. masuk dong”, pinta Dinda
***
“Lin, gimana kabar buletin minggu ini, kamu keliatan capek banget, tuh mata kamu kayak kurang tidur..kejar deadline ya?!”tanya Dinda menunjuk mata sahabatnya.
“Iya nih Din, beberapa hari ini aku lembur, waktu tidurku kalau ditotal gak ada tiga jam. Maaf ya, kalau aku jarang jenguk kamu..” wajah Marlin setengah memelas.
“Iya Marlin, kamu sekarang kesini aku udah seneng kok” jawab Dinda.
“Wah semangat benar kamu Lin, jadi wartawan sekolah..gak nyoba magang aja?” kata Arga menanggapi sahabat kekasihnya.
“Baru rencana, aku mau magang di salah satu koran lokal, libur semester besok Ga..ehm, mau nambah pengalaman” jawab Marlin jelas tapi sedikit gugup.
“Marlin khan pemimpin redaksi Ga gak cuma wartawan sekarang, jadi semua berita mesti diteliti dan di edit sama dia sebelum ke percetakan. Marlin benar-benar penulis sejati. Setahun di Aktivis –nama organisasi jurnalistik di sekolah-, dia langsung naik pangkat” terang Dinda membanggakan Marlin.
Saat ini pukul 8 malam, tak terasa waktu berjalan begitu cepat, hujan deras membasahi seluruh kota malam itu.
“ Din, aku pamit dulu ya udah malem..pamitin tante ya?” pinta Marlin, melihat mama Dinda yang duduk dan tertidur di sofa samping tempat tidur Dinda.
“Ga, Marlin biar bareng sama kamu ya, daripada dia pulang sendiri..”
“ Nggak usah Din, ni aku mau nelfon taksi kok”
“ Nggak usah sungkan Lin, nanti biar Arga tahu rumahmu juga”
Melihat tawaran itu, Marlin tak kuasa menolaknya. Sebenarnya sudah lama dia ingin dekat dengan Arga, tapi Marlin tahu diri, posisinya sebagai sahabat baik Dinda. Beberapa menit kemudian suasana dikamar Dinda sepi. Hanya dia dan mamanya.
***
Di dalam mobil Arga dan Marlin, ngobrol akrab. Keduanya satu organisasi di Pecinta Alam, meskipun Arga senior tapi mereka nyambung. Marlin masuk Pecinta alam karena dorongan ketiga sahabatnya yang lebih dulu menjadi anggota. Pembicaraan yang sedari tadi membahas tentang organisasi. Kini nada bicara Arga terlihat lebih serius.
“ Aku pingin lihat Dinda sembuh dan bisa jalan-jalan bareng lagi kayak dulu” gumam Arga.
Marlin mendengar kata itu dengan seksama. Tanpa Arga bicara pun Marlin sudah bisa melihat kenyataan itu. Hati Arga hanya untuk Dinda. Bukan saatnya jika dia senang dalam kebersamaannya dengan Arga.
***
Seminggu sudah Dinda dirawat dirumah, dengan menjalani terapi obat jalan dia merasa lebih nyaman karna dapat melakukan hal yang dia tidak bisa dilakukan di Rumah Sakit. Walaupun sebenarnya Dokter belum mengijinkannya pulang tapi demi keinginan Dinda Dokter tidak bisa melarangnya karna khawatir terhadap kondisi Dinda yang bisa drop jika banyak beban. Kekasih dan ketiga sahabatnya, selalu menyempatkan waktu untuk menengoknya setiap hari selesai pulang sekolah.
***
Diary,
Puluhan tinta tlah kuhabiskan untuk menggoreskan kata-kata di lembaranmu, tapi kali ini akankah menjadi terakhir kalinya. Karna aku tlah merasa putus asa.
Aku sayang papa dan mama, aku bersyukur mempunyai mereka sebagai orang tuaku, mereka selalu mengusahakan apapun yang terbaik untukku. Meskipun dalam keadaan sakit seperti ini mama selalu sabar merawatku dan papa selalu memotivasiku untuk kesembuhanku. Mama dan Papa adalah malaikatku. Malaikat yang selalu memberi cahaya di setiap langkah kumenjalani hari-hariku.
Diary,
Aku juga sangat menyayangi Arga, namun kutahu aku tak dapat berbuat apapun untuk membahagiakannya. Aku tahu tentang perasaan Marlin terhadap Arga –saat tak sengaja, aku membaca catatan kecil dikamarnya. Saat itu kupikir dia belum selesai menceritakan isi hatinya dan lupa menutupnya dengan kehadiranku yang tiba-tiba, lalu mengambilkanku segelas minuman untuk menyembuhkan kedahagaanku. Kubaca lembar demi lembar. Yang kutahu dia lebih dulu mencintai Arga. Kekagumannya terhadap Arga semakin menjadi ketika dia masuk menjadi anggota baru di klub pencinta alam. Saat itu aku dan Arga sudah berpacaran, tapi tak pernah kulihat wajah Marlin kesal bahkan membenciku. Dia tetap menjadi sahabat terbaikku bersama Ringga dan Esty. Marlin hanya memendam seluruh kasih sayangnya ke Arga selama ini. Maka sekarang akan kubiarkan Marlin yang menjaga Arga karna yang kutahu Marlin tulus menyayangi Arga .

***
-Nak, tante butuh kalian, keadaan Dinda memburuk. Semalam kami membawanya ke Rumah Sakit. Kalau sempat datang ke Rumah Sakit ya nak- Menjelang subuh, Esty menerima sms yang dikirim dari nomer mama Dinda. Segera Esty memberitahukan kabar ini ke dua sahabatnya.
Tergopoh-gopoh ketiganya menuju ruang informasi dan menanyakan kepada perawat jaga. Dinda berada di IGD. Seketika mereka berlari menuju ruangan yang dimaksutkan.
“ Tante, Om gimana Dinda..Kenapa bisa mendadak begini?” tanya Esty.
“Esty, nanti akan kujelaskan...sekarang sebaiknya kita berdoa untuk kesembuhan Dinda” jawab Arga seketika.
Nak Marlin, Tante mau nyampein ini ke kamu.
Disodorkan sebuah diary milik Dinda ke Marlin. Terlihat selembar kertas kecil sebagai pembuka lembar halaman diary.

Sahabatku,
Marlin, Ringga dan Esty
Makasih untuk waktu yang udah kalian berikan buatku, dengar crita-critaku, impian-impianku... Semua kehangatan yang tlah kalian bagi sangat berarti buatku. Kusadari kalian adalah nyawa keduaku saat nyawa pertamaku melayang dalam keputusasaan. Maafkan aku jika selama jadi sabahat, aku tidak sehebat kalian.
Aku sayang kalian,
Dinda
Penuh harap dan cemas, mereka bersama Arga, Papa Mama Dinda menunggu diluar ruang. Semuanya hanya terpaku dan meneteskan airmata. Mencoba saling menguatkan.

melewati masa sulit...


Melewati masa sulit….

Titik balik dalam proses tumbuh dewasa adalah saat kau menemukan kekuatan inti dalam dirimu yang mengatasi semua rasa sakit.

Max Lener

Aku ingat sekali peristiwa itu, ketika aku bangun dari ketidaksadaran selama sekitar satu jam, disebuah ruang Rumah Sakit Angkatan Udara Jogjakarta. Sesaat setelah membuka mata, ku pandangi dengan samar wajah kakakku yang sedang menungguiku, bersama empat orang temannya. Disamping ranjangku, kulihat Inggit, sahabatku yang tengah berbaring merasakan sakit akibat kecelakaan yang kami alami.

Berbagai pertimbangan orang tuaku akhirnya aku dipindahkan ke Rumah Sakit swasta di Solo dengan rujukan dari dokter. Salah satu alasannya karena kami bertempat tinggal di Solo. Hasil pemeriksaan CT-Scan aku dinyatakan mengalami pendarahan ringan di bagian otak (udema). Selama beberapa hari dirawat, aku menggunakan selang saluran oksigen melekat di lubang hidungku dan infus yang dipasang di tanganku. Hari berganti hari aku dirawat di rumah sakit, akhirnya di hari ke tujuh aku mulai belajar mengangkat kepalaku dari bantal pembaringanku, walaupun sangat sakit dan setiap kucoba mengangkat kepalaku dari tempat tidur aku merasa mual dan muntah, tapi aku terus berjuang…belajar menggerakan organ-organku yang selama beberapa hari tak berdaya diatas kasur. Saat itu ada tiga orang dokter spesialis, yang memeriksa dan mengontrol perkembangan keadaanku. Dua dokter syaraf dan satu psikiater yang mengontrol jiwaku, yang kadang tidak stabil dan kurang menerima dengan sakit yang sedang aku alami.

****

Waktu berjalan begitu cepat, hingga akhirnya aku memulai aktivitasku, bersekolah. Terasa berat saat aku tau prestasiku sangat menurun yaitu saat aku kelas dua SMA. Sempat terpikir untuk pindah ke sekolah lain namun itu tidak menyelesaikan masalah. Aku harus membangun pikiran positif di saat aku merasa rapuh. Dengan setia orang-orang terdekatku menemaniku dimanapun aku berada tanpa aku meminta.

Kecelakaan itu membuatku selalu menahan rasa sakit yang ada di kepalaku. Jika sakit itu datang aku merasa mual dan muntah begitu seterusnya hingga aku terkadang pingsan. Keputusasaan sempat melandaku, namun dengan kesetiaan keluarga dan sahabat-sahabatku aku tetap tegar. Tidak hanya sekali aku mengalami pemeriksaan sehingga membuatku rawat inap lagi di rumah sakit. Dua kali seminggu, aku harus chek-up ke dokter syaraf dan memakan berbungkus-bungkus obat. Terkadang aku berpikir, ini semua percuma karena selama beberapa bulan tidak membawa pengaruh besar untuk kesehatanku.

Setiap hari saat melihat matahari terbenam dari jendela kamarku, yang berada dilantai dua, aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, apakah aku dapat melakukan sesuatu yang berarti untuk esok?...apakah aku hanya dapat menyusahkan orang-orang disekitarku, pikiran-pikiran bodoh selalu memenuhi otakku. Karna aku hanya bisa membuat ibuku menangis kala itu. Dan aku selalu merepotkan sahabat-sahabatku...untuk sekedar membuat tugas maupun menemani kursus dan jalan-jalan untuk refreshing.

Ketika itu, saat aku mengikuti suatu kajian keagamaan di masjid Fatimah, aku bertemu dengan seorang akhwat, kami mulai berkenalan dan bercerita keseharian kami. Walaupun dia 2 tahun lebih tua dari aku tapi obrolan itu sangat menyenangkan. Hingga akhirnya dia bercerita bahwa dia juga pernah mengalami hal serupa yang aku alami. Dina namanya, dia putri dari rekan kerja ayahku juga ternyata. Kami sering bertemu di masjid, ngobrol dan pernah jalan bareng.

Kurasa hari-hari gelap itu segera meninggalkanku, setelah aku mencoba pengobatan baru yang disarankan oleh rekan kerja ayahku, ayah Dina. Akupuntur. Terdengar ngeri memang, suatu pengobatan tusuk jarum yang harus kujalani minimal dua kali dalam seminggu. Sekujur tubuhku menikmati minimal 10 tusukan jarum-jarum kecil, tapi rasa sakit saat menjalani pengobatan itu tidak sebanding saat aku kambuh. Jadi aku merasa cocok dan rutin menjalaninya. Selama satu tahun aku rutin chek-up, akupuntur membuatku merasa lebih baik. Dan kini aku merasa telah pulih. Hanya saja aku tidak diijinkan untuk terlalu terforsir dengan suatu hal yang akan menjadikan kondisiku drop.

Sungguh suatu mu’jizat dari Engkau, Ya Allah. Engkau punya rencana terhadap apa yang terjadi pada diri umat-Mu. Sungguh aku sendiri tidak menyangka sekarang dapat menjadi aku yang sekarang ini. Yang bisa beraktivitas lagi, tanpa mengeluh akan sakit yang dulu pernah ku derita.

Dari situlah aku belajar betapa pentingnya kekuatan dalam diri seseorang untuk bangkit dan tetap berpikiran positif terhadap apapun kesulitan yang sedang dialami. Doa adalah suatu benteng utama diri saat kesedihan maupun kebahagiaan mewarnai garis kehidupan. Keluarga dan sahabat adalah nyawa keduaku saat nyawa pertamaku melayang dalam keputusasaan.

_AKU_

Yang pernah jatuh dan kini tlah bangkit,