Melewati masa sulit….
Titik balik dalam proses tumbuh dewasa adalah saat kau menemukan kekuatan inti dalam dirimu yang mengatasi semua rasa sakit.
Max Lener
Aku ingat sekali peristiwa itu, ketika aku bangun dari ketidaksadaran selama sekitar satu jam, disebuah ruang Rumah Sakit Angkatan Udara Jogjakarta. Sesaat setelah membuka mata, ku pandangi dengan samar wajah kakakku yang sedang menungguiku, bersama empat orang temannya. Disamping ranjangku, kulihat Inggit, sahabatku yang tengah berbaring merasakan sakit akibat kecelakaan yang kami alami.
Berbagai pertimbangan orang tuaku akhirnya aku dipindahkan ke Rumah Sakit swasta di Solo dengan rujukan dari dokter. Salah satu alasannya karena kami bertempat tinggal di Solo. Hasil pemeriksaan CT-Scan aku dinyatakan mengalami pendarahan ringan di bagian otak (udema). Selama beberapa hari dirawat, aku menggunakan selang saluran oksigen melekat di lubang hidungku dan infus yang dipasang di tanganku. Hari berganti hari aku dirawat di rumah sakit, akhirnya di hari ke tujuh aku mulai belajar mengangkat kepalaku dari bantal pembaringanku, walaupun sangat sakit dan setiap kucoba mengangkat kepalaku dari tempat tidur aku merasa mual dan muntah, tapi aku terus berjuang…belajar menggerakan organ-organku yang selama beberapa hari tak berdaya diatas kasur. Saat itu ada tiga orang dokter spesialis, yang memeriksa dan mengontrol perkembangan keadaanku. Dua dokter syaraf dan satu psikiater yang mengontrol jiwaku, yang kadang tidak stabil dan kurang menerima dengan sakit yang sedang aku alami.
****
Waktu berjalan begitu cepat, hingga akhirnya aku memulai aktivitasku, bersekolah. Terasa berat saat aku tau prestasiku sangat menurun yaitu saat aku kelas dua SMA. Sempat terpikir untuk pindah ke sekolah lain namun itu tidak menyelesaikan masalah. Aku harus membangun pikiran positif di saat aku merasa rapuh. Dengan setia orang-orang terdekatku menemaniku dimanapun aku berada tanpa aku meminta.
Kecelakaan itu membuatku selalu menahan rasa sakit yang ada di kepalaku. Jika sakit itu datang aku merasa mual dan muntah begitu seterusnya hingga aku terkadang pingsan. Keputusasaan sempat melandaku, namun dengan kesetiaan keluarga dan sahabat-sahabatku aku tetap tegar. Tidak hanya sekali aku mengalami pemeriksaan sehingga membuatku rawat inap lagi di rumah sakit. Dua kali seminggu, aku harus chek-up ke dokter syaraf dan memakan berbungkus-bungkus obat. Terkadang aku berpikir, ini semua percuma karena selama beberapa bulan tidak membawa pengaruh besar untuk kesehatanku.
Setiap hari saat melihat matahari terbenam dari jendela kamarku, yang berada dilantai dua, aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, apakah aku dapat melakukan sesuatu yang berarti untuk esok?...apakah aku hanya dapat menyusahkan orang-orang disekitarku, pikiran-pikiran bodoh selalu memenuhi otakku. Karna aku hanya bisa membuat ibuku menangis kala itu. Dan aku selalu merepotkan sahabat-sahabatku...untuk sekedar membuat tugas maupun menemani kursus dan jalan-jalan untuk refreshing.
Ketika itu, saat aku mengikuti suatu kajian keagamaan di masjid Fatimah, aku bertemu dengan seorang akhwat, kami mulai berkenalan dan bercerita keseharian kami. Walaupun dia 2 tahun lebih tua dari aku tapi obrolan itu sangat menyenangkan. Hingga akhirnya dia bercerita bahwa dia juga pernah mengalami hal serupa yang aku alami. Dina namanya, dia putri dari rekan kerja ayahku juga ternyata. Kami sering bertemu di masjid, ngobrol dan pernah jalan bareng.
Kurasa hari-hari gelap itu segera meninggalkanku, setelah aku mencoba pengobatan baru yang disarankan oleh rekan kerja ayahku, ayah Dina. Akupuntur. Terdengar ngeri memang, suatu pengobatan tusuk jarum yang harus kujalani minimal dua kali dalam seminggu. Sekujur tubuhku menikmati minimal 10 tusukan jarum-jarum kecil, tapi rasa sakit saat menjalani pengobatan itu tidak sebanding saat aku kambuh. Jadi aku merasa cocok dan rutin menjalaninya. Selama satu tahun aku rutin chek-up, akupuntur membuatku merasa lebih baik. Dan kini aku merasa telah pulih. Hanya saja aku tidak diijinkan untuk terlalu terforsir dengan suatu hal yang akan menjadikan kondisiku drop.
Sungguh suatu mu’jizat dari Engkau, Ya Allah. Engkau punya rencana terhadap apa yang terjadi pada diri umat-Mu. Sungguh aku sendiri tidak menyangka sekarang dapat menjadi aku yang sekarang ini. Yang bisa beraktivitas lagi, tanpa mengeluh akan sakit yang dulu pernah ku derita.
Dari situlah aku belajar betapa pentingnya kekuatan dalam diri seseorang untuk bangkit dan tetap berpikiran positif terhadap apapun kesulitan yang sedang dialami. Doa adalah suatu benteng utama diri saat kesedihan maupun kebahagiaan mewarnai garis kehidupan. Keluarga dan sahabat adalah nyawa keduaku saat nyawa pertamaku melayang dalam keputusasaan.
_AKU_
Yang pernah jatuh dan kini tlah bangkit,
Aku salut dengan ketegaran dan ketabahan anda dalam menghadapi cobaan
BalasHapus